5.24.2012

KENANGAN



Aku memungut selembar amplop coklat tanggung di dekat kakiku. Amplop itu baru saja terjatuh dari sela tumpukan buku-buku tua di lemari ibuku, ketika aku sedang membereskan semua benda milik beliau. Buku-buku catatan pemasukan dan pengeluaran sehari-hari keluarga kami. Catatan dari ketika aku masih belum lahir sampai terakhir sekitar setahun yang lalu, ketika aku sudah menikah dan mempunyai dua orang anak. Ya, ibuku memang rajin mencatat semua pengeluarannya dengan rapi, tidak seperti aku. Entahlah, bagaimana ibuku bisa begitu telaten membuat pembukuan seperti itu. Dulu, ketika aku pertama kali indekos, ibu sering mengajariku membuat catatan pengeluaran seperti itu. Awalnya aku rajin sekali mencatat pengeluaran-pengeluaranku. Tetapi lama kelamaan aku menjadi malas, karena menurutku terlalu ribet, dan akhirnya buku catatan itu hanya mangkrak di rak buku diselimuti debu.
Segera saja kukeluarkan seluruh isi amplop itu. Beberapa lembar foto hitam putih, tampak masih awet gambarnya. Masih cemerlang. Hanya di bagian warna putihnya tampak agak menguning dimakan usia. Aku meneliti satu per satu wajah-wajah yang ada dalam foto tersebut. Hampir aku tidak mengenalinya, tetapi lamat-lamat tampaknya aku mulai mengingatnya. Ada fotoku sendiri ketika masih kecil, mungkin waktu aku masih sekitaran kelas 3 atau 4 SD, aku tidak ingat persis.
Kemudian ada foto Mas Pras, kakakku satu-satunya. Selain Mas Pras, aku tidak punya saudara yang lain. Umur kami tidak beda jauh, hanya selisih 3 tahun. Tetapi karena aku perempuan dan Mas Pras anak laki-laki, kami mempunyai hoby dan kesukaan yang berbeda. Aku sangat suka menari dan bermain boneka, sementara Mas Pras hobinya bermain sepak bola. Karena pada waktu itu belum ada sekolah sepak bola, seperti halnya sekarang ini, maka Mas Pras harus puas hanya dengan bermain-main bola di lapangan samping masjid di desa kami. Sedangkan aku, aku bisa ikut les menari Jawa di rumah Pak Guru Mardi. Anik, putrinya Pak Guru Mardi adalah teman sekelasku. Ayahnya memanggilkan guru menari, dan aku ditawari untuk ikut serta. Selain aku, masih ada lagi beberapa temanku yang ikut juga.
Ketika melihat salah satu foto, aku terpaku cukup lama. Ada gambar ibuku yang sedang duduk di sebuah kursi kayu, kursi terbaik yang kami miliki, yang dipesan ayah dari seorang tukang kayu terbaik di desa kami. Kursi itu masih ada sampai sekarang. Kursi yang penuh kenangan, tempat kami setiap hari makan, belajar, dan berbincang hangat.
Wajah ibuku tampak masih segar dengan rambut digelung di belakang. Di samping kiri ibu adalah Mas Pras. Dia memakai kostum bola favoritnya, sembari berpose dengan sebuah bola di bawah kakinya yang mengenakan sepatu bola pertamanya. Sepatu bola hadiah dari ayah, karena Mas Pras berhasil lulus SD dengan nilai yang bagus.
Sementara di samping kanan ibu adalah aku. Aku tampak malu-malu dengan baju terbaikku, overall berbahan soft jeans berwarna biru muda dengan baju dalaman berwarna putih. Tangan kananku memeluk sebuah boneka yang biasa aku pakai sebagai property bila sedang menari Bondan bersama teman-temanku. Latar belakang foto itu adalah tanaman bunga Nusa Indah berwarna merah muda yang berada di depan jendela kamarku. Tetapi tanaman itu sudah lama sekali ditebang, kemudian diganti dengan tanaman pakis oleh ayahku.  
Aku ingat sekali, waktu itu ibu memanggil tukang foto keliling untuk mengabadikan gambar kami bertiga. Awalnya aku tidak mau difoto. Aku malu berfoto di depan banyak anak, yang hampir setiap hari selalu beramai-ramai mengikuti tukang foto keliling itu, berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Tetapi ibu dengan sabar membujukku, supaya aku mau difoto.
“Nanti kalau kamu mau difoto, Ibu akan membelikanmu tas baru,” bujuk ibu sembari mengancingkan baju dalamanku yang berada di bagian punggung.
Aku masih merengut, tidak menjawab. Pandanganku tertuju ke lantai semen di kamarku.
“Yuk, kita keluar!” ibu meraih tanganku dan menyeretku keluar.
“Tidak mau!” aku diam tak bergerak.
“Ayolah, itu kakakmu dan tukang fotonya sudah menunggu,” bujuk ibu lagi.
“Tapi aku malu, Bu!”
Ibu tetap saja menyeretku keluar. Mau tidak mau aku harus berfoto juga di depan orang banyak. Ufffhh ... malunya.
Saat itu aku tidak bisa mengerti kenapa ibu repot-repot memanggil tukang foto keliling segala. Aku hanya malas saja disuruh-suruh berfoto, apalagi ditonton orang banyak begitu. Menurutku tidak ada pentingnya berfoto-foto seperti itu. Untuk apa, sih? Paling-paling hanya pada awal-awalnya saja merasa excited ketika menunggu-nunggu hasil fotonya, yang baru jadi seminggu kemudian. Setelah itu tidak ada lagi yang istimewa, yang bisa menjelaskan, mengapa aku harus menuruti perkataan ibu untuk ikut berfoto.
“Untuk kenang-kenangan, Lan,” jawab ibu ketika aku menanyakannya.
Jawaban dari ibu itu pun tidak bisa aku mengerti. Kenangan macam apa, sih? Kami, toh, selalu bersama, tinggal di rumah yang sama pula. Kenapa harus ada kenangan? Bukannya kenangan itu berlaku untuk orang-orang yang berpisah, yang tinggal di tempat yang berjauhan, sehingga setiap saat bisa mengenang seseorang dengan memandang benda-benda atau foto-foto yang berhubungan dengan orang tersebut? Pikiran kanak-kanakku memprotes semua yang dikatakan ibuku. Tapi toh, itu hanya berhenti sebagai gerundelan belaka, tanpa pernah aku sampaikan pada ibu.
Dan sekarang, ketika secara tak sengaja aku menemukan lembaran-lembaran foto keluarga kami, aku baru bisa mengerti kata-kata ibuku berpuluh tahun lampau. Foto-foto itu adalah kenangan manis masa kecil kami, bersama ibu terkasih sepanjang hayat, saat-saat yang tidak akan pernah terlupakan begitu saja. Foto-foto yang begitu hidup dan sangat runtut menceritakan kembali masa kanak-kanak kami, masa-masa bahagia dalam keluarga kecil ibu dan ayahku,  seperti sebuah slide film yang ditayangkan di depan mataku. Dan ... ah, foto-foto itu akhirnya berhasil juga membangkitkan romantisme masa laluku, bersama Mas Pras, ibu, dan ayahku. Semakin aku melihatnya, semakin aku memikirkannya, dan semakin pula aku menginginkannya. Ingin sekali rasanya mengulang kembali masa-masa itu. Tapi itu adalah hal yang tidak mungkin. Masa lalu hanya untuk dikenang saja, meski selalu menimbulkan melankoli yang teramat dalam.
Ya, kenangan. Ibuku sepertinya memang sudah mempersiapkannya dengan rapi. Bahkan sejak aku sendiri belum paham apa itu kenangan. Tetapi hari ini, tiga hari setelah meninggalnya ibuku, beliau dengan jelas dan sangat dalam menunjukkan kepadaku, arti sebuah kenangan.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar