Aku
memungut selembar amplop coklat tanggung di dekat kakiku. Amplop itu baru saja
terjatuh dari sela tumpukan buku-buku tua di lemari ibuku, ketika aku sedang membereskan
semua benda milik beliau. Buku-buku catatan pemasukan dan pengeluaran
sehari-hari keluarga kami. Catatan dari ketika aku masih belum lahir sampai terakhir
sekitar setahun yang lalu, ketika aku sudah menikah dan mempunyai dua orang
anak. Ya, ibuku memang rajin mencatat semua pengeluarannya dengan rapi, tidak
seperti aku. Entahlah, bagaimana ibuku bisa begitu telaten membuat pembukuan
seperti itu. Dulu, ketika aku pertama kali indekos, ibu sering mengajariku
membuat catatan pengeluaran seperti itu. Awalnya aku rajin sekali mencatat pengeluaran-pengeluaranku.
Tetapi lama kelamaan aku menjadi malas, karena menurutku terlalu ribet, dan
akhirnya buku catatan itu hanya mangkrak di rak buku diselimuti debu.
Segera
saja kukeluarkan seluruh isi amplop itu. Beberapa lembar foto hitam putih, tampak
masih awet gambarnya. Masih cemerlang. Hanya di bagian warna putihnya tampak
agak menguning dimakan usia. Aku meneliti satu per satu wajah-wajah yang ada
dalam foto tersebut. Hampir aku tidak mengenalinya, tetapi lamat-lamat
tampaknya aku mulai mengingatnya. Ada fotoku sendiri ketika masih kecil,
mungkin waktu aku masih sekitaran kelas 3 atau 4 SD, aku tidak ingat persis.
Kemudian
ada foto Mas Pras, kakakku satu-satunya. Selain Mas Pras, aku tidak punya
saudara yang lain. Umur kami tidak beda jauh, hanya selisih 3 tahun. Tetapi
karena aku perempuan dan Mas Pras anak laki-laki, kami mempunyai hoby dan
kesukaan yang berbeda. Aku sangat suka menari dan bermain boneka, sementara Mas
Pras hobinya bermain sepak bola. Karena pada waktu itu belum ada sekolah sepak
bola, seperti halnya sekarang ini, maka Mas Pras harus puas hanya dengan
bermain-main bola di lapangan samping masjid di desa kami. Sedangkan aku, aku
bisa ikut les menari Jawa di rumah Pak Guru Mardi. Anik, putrinya Pak Guru
Mardi adalah teman sekelasku. Ayahnya memanggilkan guru menari, dan aku
ditawari untuk ikut serta. Selain aku, masih ada lagi beberapa temanku yang
ikut juga.
Ketika
melihat salah satu foto, aku terpaku cukup lama. Ada gambar ibuku yang sedang
duduk di sebuah kursi kayu, kursi terbaik yang kami miliki, yang dipesan ayah dari
seorang tukang kayu terbaik di desa kami. Kursi itu masih ada sampai sekarang.
Kursi yang penuh kenangan, tempat kami setiap hari makan, belajar, dan
berbincang hangat.
Wajah
ibuku tampak masih segar dengan rambut digelung di belakang. Di samping kiri
ibu adalah Mas Pras. Dia memakai kostum bola favoritnya, sembari berpose dengan
sebuah bola di bawah kakinya yang mengenakan sepatu bola pertamanya. Sepatu
bola hadiah dari ayah, karena Mas Pras berhasil lulus SD dengan nilai yang
bagus.
Sementara
di samping kanan ibu adalah aku. Aku tampak malu-malu dengan baju terbaikku, overall berbahan soft jeans berwarna
biru muda dengan baju dalaman berwarna putih. Tangan kananku memeluk sebuah
boneka yang biasa aku pakai sebagai property bila sedang menari Bondan bersama
teman-temanku. Latar belakang foto itu adalah tanaman bunga Nusa Indah berwarna
merah muda yang berada di depan jendela kamarku. Tetapi tanaman itu sudah lama
sekali ditebang, kemudian diganti dengan tanaman pakis oleh ayahku.
Aku
ingat sekali, waktu itu ibu memanggil tukang foto keliling untuk mengabadikan
gambar kami bertiga. Awalnya aku tidak mau difoto. Aku malu berfoto di depan banyak
anak, yang hampir setiap hari selalu beramai-ramai mengikuti tukang foto
keliling itu, berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Tetapi ibu dengan
sabar membujukku, supaya aku mau difoto.
“Nanti
kalau kamu mau difoto, Ibu akan membelikanmu tas baru,” bujuk ibu sembari
mengancingkan baju dalamanku yang berada di bagian punggung.
Aku
masih merengut, tidak menjawab. Pandanganku tertuju ke lantai semen di kamarku.
“Yuk,
kita keluar!” ibu meraih tanganku dan menyeretku keluar.
“Tidak
mau!” aku diam tak bergerak.
“Ayolah,
itu kakakmu dan tukang fotonya sudah menunggu,” bujuk ibu lagi.
“Tapi
aku malu, Bu!”
Ibu
tetap saja menyeretku keluar. Mau tidak mau aku harus berfoto juga di depan
orang banyak. Ufffhh ... malunya.
Saat
itu aku tidak bisa mengerti kenapa ibu repot-repot memanggil tukang foto
keliling segala. Aku hanya malas saja disuruh-suruh berfoto, apalagi ditonton
orang banyak begitu. Menurutku tidak ada pentingnya berfoto-foto seperti itu.
Untuk apa, sih? Paling-paling hanya pada awal-awalnya saja merasa excited ketika menunggu-nunggu hasil
fotonya, yang baru jadi seminggu kemudian. Setelah itu tidak ada lagi yang
istimewa, yang bisa menjelaskan, mengapa aku harus menuruti perkataan ibu untuk
ikut berfoto.
“Untuk
kenang-kenangan, Lan,” jawab ibu ketika aku menanyakannya.
Jawaban
dari ibu itu pun tidak bisa aku mengerti. Kenangan
macam apa, sih? Kami, toh, selalu bersama, tinggal di rumah yang sama pula.
Kenapa harus ada kenangan? Bukannya kenangan itu berlaku untuk orang-orang yang
berpisah, yang tinggal di tempat yang berjauhan, sehingga setiap saat bisa
mengenang seseorang dengan memandang benda-benda atau foto-foto yang
berhubungan dengan orang tersebut? Pikiran kanak-kanakku memprotes semua
yang dikatakan ibuku. Tapi toh, itu hanya berhenti sebagai gerundelan belaka,
tanpa pernah aku sampaikan pada ibu.
Dan
sekarang, ketika secara tak sengaja aku menemukan lembaran-lembaran foto
keluarga kami, aku baru bisa mengerti kata-kata ibuku berpuluh tahun lampau. Foto-foto
itu adalah kenangan manis masa kecil kami, bersama ibu terkasih sepanjang
hayat, saat-saat yang tidak akan pernah terlupakan begitu saja. Foto-foto yang
begitu hidup dan sangat runtut menceritakan kembali masa kanak-kanak kami,
masa-masa bahagia dalam keluarga kecil ibu dan ayahku, seperti sebuah slide film yang ditayangkan di
depan mataku. Dan ... ah, foto-foto itu akhirnya berhasil juga membangkitkan
romantisme masa laluku, bersama Mas Pras, ibu, dan ayahku. Semakin aku
melihatnya, semakin aku memikirkannya, dan semakin pula aku menginginkannya.
Ingin sekali rasanya mengulang kembali masa-masa itu. Tapi itu adalah hal
yang tidak mungkin. Masa lalu hanya untuk dikenang saja, meski selalu
menimbulkan melankoli yang teramat dalam.
Ya,
kenangan. Ibuku sepertinya memang sudah mempersiapkannya dengan rapi. Bahkan
sejak aku sendiri belum paham apa itu kenangan. Tetapi hari ini, tiga hari
setelah meninggalnya ibuku, beliau dengan jelas dan sangat dalam menunjukkan
kepadaku, arti sebuah kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar