3.21.2012

SAAT PUTRIKU BERTANYA



Suatu hari, saat Hasna, putri keduaku masih duduk di bangku TK, ia bertanya padaku, “Ma, kenapa agamaku Islam? Kenapa aku tidak yang lain saja?”

Deg! Aku tersentak. Kaget. Tidak menyangka ia akan bertanya seperti itu. Secepat kilat aku berusaha memutar otak (meski agak-agak lemot), untuk segera mendapatkan jawaban yang tepat, yang akan kusampaikan pada putri kecilku itu.

“Kenapa bertanya seperti itu?” tanyaku.

3.13.2012

PEREMPUAN BERAMBUT MERAH


Beberapa hari yang lalu, karena kunci motor tiba-tiba ngumpet dan tak bisa ditemukan, saya terpaksa ke kantor dengan nebeng teman saya yang kebetulan tinggal sekompleks dengan saya. Di perjalanan, teman saya yang baru beberapa bulan menempati rumah barunya, bercerita tentang adanya seorang preman perempuan di kompleks kami. Dia menceritakan pengalamannya bertemu dengan perempuan tadi, dan cerita-cerita yang berkembang seputarnya. 

Awalnya saya blank ketika teman saya menyebut tentang ‘preman perempuan’, karena memang saya tidak mengenal lingkungan saya dengan cukup baik. Tetapi dari ciri-ciri fisik yang disebutkan teman saya, dan semua cerita tentangnya, saya langsung mengerti perempuan yang dimaksud. Semua orang di kompleks perumahan pasti mengenalnya. Meskipun hanya sekali, pasti pernah didatangi olehnya. Minimal mendengar ceritanya.

Dia seorang ‘perempuan’, mungkin sebaya dengan saya, atau sedikit lebih tua, tapi bisa juga sedikit lebih muda. Rambut keringnya yang terkesan kasar dan awul-awulan dipotong cepak, bercat murahan warna merah membara. Sorot matanya redup tanpa cahaya. Guratan wajah tirusnya yang gelap dan kusam menyiratkan beban hidup yang teramat berat.

THIFAL DAN DUA CANGKIR KOPI


Thifal, putri pertama saya, suka sekali minum kopi. Sering kali, dia baru mau bangun pagi setelah minum kopi. Malam, waktu belajar dia juga selalu minta dibikinkan kopi. Apalagi saat-saat sekarang ini, ketika waktu Ujian Nasional sudah mulai dekat. Ketika jadwal belajarnya semakin padat.

Hampir setiap hari dia belajar sampai larut malam, bisa sampai pukul 24.00 WIB. Bahkan kadang-kadang sampai pukul 01.00 dini hari, atau pernah juga sampai pukul 01.30. Saya dan ayahnya sudah sering menasehati untuk tidak belajar sampai larut malam, tetapi tidak digubrisnya. Dia beralasan, lebih enak belajar pada malam hari, karena suasana yang sepi sangat membantunya dalam belajar.


Sebenarnya bukan hanya saat-saat sekarang ini saja dia begitu. Selama ini dia sudah terbiasa belajar sampai larut malam. Sebagai orang tua tentu kami khawatir, dong, dengan pola belajarnya yang seperti itu. Kalau belajarnya sampai larut malam begitu, otomatis, kan, jam istirahatnya kurang. Sementara dia harus bangun pagi-pagi untuk menunaikan sholat subuh, kemudian karena sekolahnya fullday, sampai di rumah kembali sudah pukul 16.00 WIB. Lalu kapan istirahatnya? Kami khawatir hal itu akan mempengaruhi kesehatannya.