Dulu, ketika kami masih tinggal di Jogja, suami sering pijat ke seorang tukang pijat tuna netra yang berpraktek di sekitaran alun-alun Keraton Yogya. Tukang pijat ini adalah langganan kedua mertua saya. Pada hari-hari yang lain, ketika beliau sedang tidak berpraktek di tempat itu, kami juga bisa datang ke rumahnya. Waktu itu mungkin beliau berusia sekitar lima puluhan sampai enam puluhan tahun (saya tidak tahu persis, karena saya orang yang sangat payah dalam menebak usia seseorang). Kami memanggilnya Pak Wazim, nama yang terdengar cukup unik di telinga saya.
Pak Wazim tinggal di sebuah rumah kecil yang bersih dan
rapi, bersama istrinya yang juga seorang tuna netra. Ketiga orang anaknya
tinggal di kota yang berbeda, karena pekerjaan mengharuskan mereka tinggal jauh
dari kedua orang tua. Anak-anak mereka cukup berhasil dalam hidupnya, mengingat
mereka lahir dari keluarga sederhana, dari pasangan tuna netra pula. Saya tidak
ingat mereka bekerja sebagai apa, tetapi dari foto-foto yang terpasang di
dinding, sepertinya ekonomi mereka cukup bagus. Saya hanya ingat satu dari
mereka bekerja di salah satu bank swasta.