3.13.2012

PEREMPUAN BERAMBUT MERAH


Beberapa hari yang lalu, karena kunci motor tiba-tiba ngumpet dan tak bisa ditemukan, saya terpaksa ke kantor dengan nebeng teman saya yang kebetulan tinggal sekompleks dengan saya. Di perjalanan, teman saya yang baru beberapa bulan menempati rumah barunya, bercerita tentang adanya seorang preman perempuan di kompleks kami. Dia menceritakan pengalamannya bertemu dengan perempuan tadi, dan cerita-cerita yang berkembang seputarnya. 

Awalnya saya blank ketika teman saya menyebut tentang ‘preman perempuan’, karena memang saya tidak mengenal lingkungan saya dengan cukup baik. Tetapi dari ciri-ciri fisik yang disebutkan teman saya, dan semua cerita tentangnya, saya langsung mengerti perempuan yang dimaksud. Semua orang di kompleks perumahan pasti mengenalnya. Meskipun hanya sekali, pasti pernah didatangi olehnya. Minimal mendengar ceritanya.

Dia seorang ‘perempuan’, mungkin sebaya dengan saya, atau sedikit lebih tua, tapi bisa juga sedikit lebih muda. Rambut keringnya yang terkesan kasar dan awul-awulan dipotong cepak, bercat murahan warna merah membara. Sorot matanya redup tanpa cahaya. Guratan wajah tirusnya yang gelap dan kusam menyiratkan beban hidup yang teramat berat.

Beberapa tahun silam, keluarga kecil kami baru beberapa hari menempati sebuah rumah kontrakan di kompleks ini. Di suatu pagi, ketika suami dan anak-anak sudah pada berangkat ke tempat tujuan mereka masing-masing, saya kedatangan tamu. Seorang perempuan yang menggendong seorang bayi, bersama dengan seorang anak lainnya yang masih balita. 

Sebagai tuan ... eh ... nyonya rumah yang baik, saya mempersilakannya masuk dan mempersilakannya duduk di kursi tamu terbaik yang ada di rumah kontrakan saya. Kursi milik si empunya rumah, yang sebagian besar busanya sudah pada kempes. Bahkan jok kursi panjangnya sudah ambleg, sehingga kalau diduduki, pantat dan badan kita jadi terperosok ke bawah. Belum lagi rasa gatal-gatal yang ditimbulkan oleh kursi-kursi itu. Karena penasaran, suatu hari saya mencari tahu asal-muasal penyebab rasa gatal-gatal itu. Usut punya usut, ternyata kursi-kursi yang malang itu pun sudah jadi sarang kutu busuk. Oalaaah ... makanya ... setiap kali diduduki, tidak di punggung, tidak di pantat, rasanya cekiiittt ... cekiiittt.

Kembali ke tamu saya. Dia memperkenalkan diri sebagai Bu Menir, istrinya Pak Menir, tetangga saya belakang rumah, di Gang A, dekat bangunan B, sebelahnya Bu C, depannya Bu D .... Waduh, saya jadi pusiiing! Mana tahu saya, Gang A, bangunan B, Bu C, dan Bu D. Baru juga beberapa hari saya tinggal di perumahan ini. Dibanding dengan suami dan anak-anak saya, saya memang tertinggal jauh. Mereka cepat sekali beradaptasi, berkenalan dengan para tetangga, dan mengenal dengan baik setiap sudut kompleks. Sementara saya butuh waktu berbulan-bulan untuk beradaptasi dan mengenal lingkungan tempat tinggal yang baru. Payah memang.

Perempuan itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Bu Menir, menawarkan jasa mencuci pakaian pada saya. Tetapi dia meminta bayarannya diberikan di muka. Whaaattt?!? Apa saya tidak salah dengar? Logika dan suudzon saya langsung mendominasi, mengalahkan rasa kemanusiaan saya, meski dia beralasan butuh membeli beras untuk anak-anaknya. Bagaimana bisa saya percaya begitu saja, pada orang asing yang tiba-tiba datang ke rumah saya? Bagaimana bisa dia meminta imbalan untuk pekerjaan yang belum dijalaninya, pada orang yang dianggapnya sebagai tetangga, dan baru beberapa hari saja menempati rumah kontrakannya.

Dengan tegas saya menolaknya, atas alasan-alasan yang disampaikan oleh logika saya. Dan sejujurnya, saya memang belum membutuhkan bantuan orang lain untuk mencucikan pakaian kami sekeluarga. Di samping masih bisa dikerjakan sendiri, rasanya kami juga belum mampu untuk membayar seorang tenaga tukang cuci. 

Sepeninggal Bu Menir, ada yang mengganjal di hati saya. Saya menyesal tidak bisa ... lebih tepatnya, tidak mau membantunya. Di mana rasa kemanusiaan saya, melihat di depan mata, seorang ibu beserta bayi dan anak balitanya yang kelaparan? Bagaimana kalau perkataannya itu benar, dan kemudian seharian mereka tidak makan? Pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepala, kemudian turun melumer ke hati saya. Tetapi dengan segera saya tepis dengan logika saya.

Dari cerita ibu-ibu di perkumpulan arisan RT, saya jadi tahu siapa Bu Menir. Seorang perempuan miskin dengan banyak anak, yang suaminya seorang buruh dengan penghasilan pas-pasan, dan bahkan kurang untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Dia suka datang ke rumah-rumah tetangganya untuk sekedar meminta uang, beras, dan bahkan pakaian bekas. Para ibu di perkumpulan arisan RT memperingatkan saya untuk tidak memberinya uang, atau apapun kepadanya. Karena sekali diberi, dia akan selalu datang dan datang lagi. 

Saat ini, ketika kami sekeluarga akhirnya pindah dan menempati rumah kami sendiri yang mungil, Bu Menir datang lagi ke rumah. Seperti sudah banyak diceritakan para warga (bahkan para warga di RT saya yang baru ini), Bu Menir meminta uang pada saya. Kali ini saya sudah lebih memakluminya. Seperti pesan suami saya, dengan ringan saya memberinya sedikit uang semampu dan seikhlas saya. Ketika akhirnya dia datang lagi, dan datang lagi di kemudian hari, saya tetap dengan ringan dan ikhlas memberinya sedikit uang atau beberapa takar beras. Kadang-kadang juga pakaian bekas pantas pakai. 

Suatu malam bakda Maghrib, dia datang ke rumah dan memperlihatkan luka bekas operasi sterilisasi di bagian perutnya. Luka itu masih diperban, menandakan operasi belum lama dilakukan. Dia juga menunjukkan segepok obat yang harus diminumnya. Di waktu yang lain, dia datang dan duduk berjongkok di depan pintu dengan mata berkaca-kaca. Di tangannya teracung sebuah arloji. Dia tengah sakit, badannya panas, bercerita bahwa anak-anaknya meminta makan, sementara suaminya sekarang sudah tidak bekerja lagi. Dan dia bermaksud menjual arlojinya itu pada saya.

Banyak alasan ketika dia datang untuk meminta uang atau beras. Kadang-kadang dia juga meminta uang untuk membeli obat sesak napas buat anaknya. Saya dengar, keluarga mereka itu memang perokok berat. Tidak hanya bapaknya, tetapi juga anak-anak lelakinya yang sudah besar, termasuk si Ibu Menir sendiri!

Tetapi di luar semua penderitaan karena kemiskinannya, perempuan ini memang bisa jadi membuat orang yang tadinya mengasihani, jadi berbalik sinis padanya. Bagaimana tidak? Untuk orang seperti dia, yang mengandalkan banyak bantuan dari para tetangganya (bahkan hanya sekedar untuk makan sehari-hari), seharusnyalah dia menjaga penampilan dan perilakunya. Alih-alih tetap berpenampilan bersahaja dan apa adanya, perempuan ini malah mengecat rambut kering cepaknya dengan warna merah membara. Tak ketinggalan pula rambut anak-anaknya yang masih kecil dicat dengan warna serupa. Belum lagi kebiasaannya mengelilingi kompleks dengan pakaian ketat dan celana pendeknya.

Tak berhenti di situ saja. Ketika suatu hari datang ke rumah saya, saya malah jadi penasaran, karena sejak datang dia tak pernah melepaskan jari-jari tangannya di hidungnya. Setelah saya perhatikan dan amati dengan cermat, ternyata dia sedang berusaha menutupi tindik yang sepertinya baru saja dia buat di cuping hidungnya. 

Beberapa kali juga saya melihatnya tidur-tiduan di pos ronda pada malam hari. Saya tidak tahu apa sebenarnya yang dilakukannya di sana. Sedang meratapi nasibnya kah? Saya benar-benar tidak tahu.

Maka dari itu, kadang-kadang saya juga bisa memaklumi, mengapa banyak para tetangga yang seperti tidak peduli padanya. Padahal kan, melihat kondisi rumah dan keluarganya, mereka memang patut dibantu dan dikasihani. Bisa jadi orang akan berubah menjadi kesal, dan hilang empatinya, ketika mengetahui orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, dan menggantungkan hidupnya dari bantuan orang-orang di sekitarnya, tingkah polahnya menjadi “sing-sing” dan sok-sok “modis”. 

Lantas, uang dari mana yang dipakainya untuk mengecat rambut dan menindik hidungnya? Bukankah akan lebih baik kalau uang itu dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya? Tapi bukan itu sebenarnya masalahnya. Sebenarnya sih, membantu ya membantu saja, ikhlas-ikhlas saja. Tetapi untuk tingkah polah yang “sing-sing” dan sok-sok “modis” itu? Mbok yao, yang “ngrumangsani” gitu, lho. Mungkin begitu, pemikiran kebanyakan para tetangga.

Terus terang, perasaan seperti itu terlintas juga pada saya. Tapi, ya sudah lah. Diniatkan berbagi dengan ikhlas saja. Toh, tidak setiap hari. Berbagi sedikit tidak akan membuat saya menjadi jatuh miskin. Lagi pula, siapa sih, yang mau seperti perempuan itu? Tidak ada saya rasa.

4 komentar:

  1. jadi pengen lihat,macam perempuan / ibu ibu / keluarga kayak apa dia

    BalasHapus
  2. catatan kecil yang menarik..

    BalasHapus