3.13.2012

THIFAL DAN DUA CANGKIR KOPI


Thifal, putri pertama saya, suka sekali minum kopi. Sering kali, dia baru mau bangun pagi setelah minum kopi. Malam, waktu belajar dia juga selalu minta dibikinkan kopi. Apalagi saat-saat sekarang ini, ketika waktu Ujian Nasional sudah mulai dekat. Ketika jadwal belajarnya semakin padat.

Hampir setiap hari dia belajar sampai larut malam, bisa sampai pukul 24.00 WIB. Bahkan kadang-kadang sampai pukul 01.00 dini hari, atau pernah juga sampai pukul 01.30. Saya dan ayahnya sudah sering menasehati untuk tidak belajar sampai larut malam, tetapi tidak digubrisnya. Dia beralasan, lebih enak belajar pada malam hari, karena suasana yang sepi sangat membantunya dalam belajar.


Sebenarnya bukan hanya saat-saat sekarang ini saja dia begitu. Selama ini dia sudah terbiasa belajar sampai larut malam. Sebagai orang tua tentu kami khawatir, dong, dengan pola belajarnya yang seperti itu. Kalau belajarnya sampai larut malam begitu, otomatis, kan, jam istirahatnya kurang. Sementara dia harus bangun pagi-pagi untuk menunaikan sholat subuh, kemudian karena sekolahnya fullday, sampai di rumah kembali sudah pukul 16.00 WIB. Lalu kapan istirahatnya? Kami khawatir hal itu akan mempengaruhi kesehatannya.



Sejak kecil, ketika usianya baru sekitar 3 tahun, Thifal sudah tidak pernah mau tidur siang. Katanya, dia paling benci kalau disuruh tidur siang. Ada-ada saja kegiatannya. Kalau dikeloni supaya tidur siang, malah yang ngelonin jadinya yang tertidur pulas, sementara anaknya entah ke mana. Itu sebabnya, kami menyekolahkannya fullday, supaya kegiatannya lebih terarah. Kebetulan juga, saya dan ayahnya sama-sama bekerja di luar rumah. Jadi, sekolah fullday sangat membantu menyelesaikan permasalahan kami juga.

Masalah kesukaannya pada minuman kopi, saya juga sudah sering mengingatkannya. Bahkan menasehatinya, bahwa kopi tidak baik untuk anak-anak. Untuk beberapa saat, dia tidak lagi minum kopi. Tetapi sekarang, ketika Ujian Nasional sudah mulai dekat, dan jadwal-jawal try out mulai banyak, kebiasaan itu dilakukannya lagi. Paling tidak dua cangkir sehari, pagi dan malam hari.

Ini mungkin berawal dari kami juga. Dulu, sewaktu dia masih bayi, karena ketakutan yang berlebihan akan stuip (yang katanya berhubungan dengan riwayat stuip pada keluarga, dan kebetulan saya sendiri sering stuip waktu kecil), atas saran seorang teman, saya suka memberinya kopi, meskipun itu hanya sesendok teh. Ketika balita, dia mulai suka minta kepada ayahnya, saat ayahnya minum kopi. Itu juga hanya beberapa teguk saja. Nah, untuk selanjutnya, saya tidak begitu ingat kapan dia mulai sering merengek minta dibikinkan kopi. Yang jelas sudah SD, mungkin sekitar kelas 4 atau 5.

Memang sih, badan akan terasa menjadi lebih segar dan bersemangat setelah kita minum kopi. Tetapi saya berharap, kebiasaan itu tidak lantas menjadikannya pecandu kopi. Apalagi pecandu kopi macam Mbah Surip, yang dalam sehari bisa menghabiskan bergelas-gelas besar kopi tubruk. Oh, nooo!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar