Nama lengkapnya Dealova,
tetapi biasa dipanggil Dea. Ia seorang gadis kecil berusia 9 tahun, dan baru
duduk di kelas 4 SD. Dea bukanlah murid yang selalu masuk ranking 10 besar di
kelasnya. Tetapi bukan berarti Dea termasuk anak yang bodoh. Ia adalah anak
dengan kemampuan sedang-sedang saja. Tetapi hampir semua teman, guru, dan
orang-orang di sekitarnya sangat menyukainya, karena Dea adalah anak yang
ramah, supel, dan baik hati. Ia sangat perhatian kepada siapa saja. Ia juga tak
segan-segan menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Suatu hari, sepulang
sekolah, setelah menunaikan sholat Dzuhur, Dea berpamitan pada ibunya untuk
membeli es krim di warung Bu Ihsan, yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Ketika Dea keluar dari warung Bu Ihsan, ia melihat Kakek Harun sedang duduk di
teras rumahnya sambil melambai-lambaikan koran. Mula-mula Dea tidak
mengacuhkannya. Tetapi kakek itu kembali melambai-lambaikan koran yang dipegangnya
ke arahnya. Dengan ragu-ragu Dea berjalan menuju rumah Kakek Harun.
Kakek Harun berusia sekitar tujuh puluhan, seusia Kakek Sastro, kakeknya Dea yang tinggal di desa. Rambut mereka sama-sama sudah memutih semua, dan kerut-merut kulit mereka tampaknya juga hampir sama. Bedanya, Kakek Sastro masih terlihat sehat dan gagah, sedangkan Kakek Harun ini terlihat lebih ringkih. Sesekali terdengar suara batuknya.
“Kakek memanggil saya?”
tanya Dea ramah.
“Iya, kemarilah, duduk sini!”
jawab Kakek Harun sembari menepuk-nepuk kursi kayu di sebelahnya.
Dea masuk ke halaman
rumah Kakek Harun dan naik ke teras rumah, kemudian duduk di sebelahnya.
“Namamu siapa?” tanya
Kakek Harun.
“Nama saya Dealova,
Kakek boleh panggil saya Dea,” Dea mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Kakek Harun menjabat
tangan Dea dengan hangat.
“Nama kamu bagus
sekali!” puji Kakek Harun.
“Terima kasih, Kek,” kata
Dea malu-malu.
“Kakek bisa minta
tolong, tidak?”tanya Kakek Harun lagi.
“Apa yang bisa saya
bantu, Kek?” Dea balik bertanya dengan sopan.
“Tolong bacain koran
ini. Kemarin kaca mata Kakek pecah dan belum diperbaiki, jadi hari ini Kakek tidak bisa membaca
koran,” Kakek Harun mengulurkan koran yang dipegangnya kepada Dea.
Setelah meletakkan
bungkusan es krimnya di atas meja, Dea segera membacakan berita di halaman bagian
depan saja, seperti yang diminta Kakek Harun. Tentu saja dengan halaman
sambungannya. Kakek Harun menyimaknya dengan sungguh-sungguh, dan sesekali mengangguk-angguk.
Sesekali juga terdengar suara batuknya.
“Ada lagi, Kek, yang
mau dibacain?” tanya Dea sopan, ketika semua berita di halaman depan koran itu
selesai dibacanya.
“Sudah cukup, terima
kasih,” jawab Kakek Harun sembari melipat kembali korannya, kemudian
meletakkannya di pangkuan.
“Kalau begitu, saya
pamit pulang, ya, Kek,” Dea mencium tangan Kakek Harun.
“Baiklah, jangan kapok
bacain koran buat Kakek, ya,” jawab Kakek Harun.
Dea pun segera
mengambil bungkusan es krimnya yang sudah mulai mencair, dan pergi meninggalkan
rumah Kakek Harun.
* * *
Hari-hari berikutnya,
kalau ada waktu senggang, Dea pasti menyempatkan berkunjung ke rumah Kakek
Harun untuk membacakan koran, atau surat-surat dari teman-teman Kakek Harun
yang tinggal di luar kota. Kata Kakek Harun, mereka adalah teman-teman beliau semasa
sekolah dulu. Dea senang melakukannya, meskipun kaca mata Kakek Harun yang
pecah sudah diperbaiki.
Kakek Harun tinggal
seorang diri, hanya ditemani oleh seorang pembantu. Semua anak-anaknya sudah
menikah, dan tinggal di kota yang berbeda, sementara istrinya sudah lama tiada.
Bagi Kakek Harun, surat-surat dari teman-temannya adalah hiburan dalam
kesepiannya. Dan sekarang, Allah mengirimkan seorang teman kecil yang sangat
baik, yang mengisi hari-hari sepinya.
Suatu hari, dalam
perjalanan pulang sekolah, Dea melihat beberapa mobil terparkir di halaman
rumah Kakek Harun. Terlihat banyak orang berkerumun di teras rumah itu. Mereka
semua tampak tegang dan tergesa-gesa. Dari cerita orang-orang yang ada di situ,
rupanya Kakek Harun mengalami sesak napas dan harus segera dibawa ke rumah
sakit. Dan mobil yang terparkir di halaman rumah itu adalah mobil anak-anaknya
Kakek Harun, yang baru saja datang, karena ditelepon oleh pembantu beliau.
Dea juga melihat Kakek
Harun dibopong oleh seorang laki-laki ke dalam sebuah mobil. Badan Kakek Harun
terlihat sangat lemah, mukanya pucat, dengan napas tersengal-sengal. Dea sangat
sedih mengetahui Kakek Harun sakit. Dalam hati ia berdoa semoga tidak terjadi
hal yang serius pada Kakek Harun, dan beliau segera pulih seperti sedia kala,
sehingga Dea bisa kembali membacakan koran dan surat-surat untuknya.
Setelah mobil yang
membawa Kakek Harun meninggalkan halaman rumah, Dea melangkah pulang dengan
hati masih diliputi kecemasan.
* *
*
“Dea, bangun, nak,” ibu
mengguncang tubuh Dea dengan lembut.
Dea yang masih terlelap
dalam mimpinya, terbangun, kemudian mengucek-ngucek matanya. Ia melirik jam
weker di meja belajarnya.
“Baru jam empat, Bu,
Dea masih ngantuk,” Dea kembali memejamkan matanya.
“Ada berita tentang
Kakek Harun, sayang,” ibu berkata dengan hati-hati.
Mata Dea yang sudah
terpejam lagi, mendadak terbuka lebar ketika mendengar nama Kakek Harun disebut.
Ada apa dengan beliau?
“Kenapa, Kakek Harun,
Bu?” tanya Dea cemas.
“Maaf, sayang, Ibu
harus menyampaikan ini padamu,” ibu berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Kakek
Harun meninggal dunia.”
Meskipun ibu mengatakannya dengan sangat
hati-hati, tetapi Dea merasa seperti baru saja disambar petir. Perasaannya
menjadi sangat kacau. Kaget, sedih, dan seakan tak percaya. Dea sudah
menganggap Kakek Harun seperti kakeknya sendiri. Itu sebabnya ia merasa sangat
kehilangan.Tak terasa air matanya mengalir deras di pipinya.
Kakek Harun sudah tiada.
Dea tidak perlu lagi membacakan koran dan surat-surat untuknya. Ketika
mengingat kembali saat-saat ia bersama Kakek Harun, kembali air matanya
mengalir deras. Kakek Harun, semoga Allah
memberikan tempat yang terindah untukmu. Semoga di tempatmu yang baru, akan ada
bidadari yang membacakan koran dan
surat-surat untukmu. Aku akan sangat merindukanmu, Kek. Selamat jalan, Kakek
Harun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar