6.11.2012

Dea Dan Kakek Harun

 Nama lengkapnya Dealova, tetapi biasa dipanggil Dea. Ia seorang gadis kecil berusia 9 tahun, dan baru duduk di kelas 4 SD. Dea bukanlah murid yang selalu masuk ranking 10 besar di kelasnya. Tetapi bukan berarti Dea termasuk anak yang bodoh. Ia adalah anak dengan kemampuan sedang-sedang saja. Tetapi hampir semua teman, guru, dan orang-orang di sekitarnya sangat menyukainya, karena Dea adalah anak yang ramah, supel, dan baik hati. Ia sangat perhatian kepada siapa saja. Ia juga tak segan-segan menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Suatu hari, sepulang sekolah, setelah menunaikan sholat Dzuhur, Dea berpamitan pada ibunya untuk membeli es krim di warung Bu Ihsan, yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Ketika Dea keluar dari warung Bu Ihsan, ia melihat Kakek Harun sedang duduk di teras rumahnya sambil melambai-lambaikan koran. Mula-mula Dea tidak mengacuhkannya. Tetapi kakek itu kembali melambai-lambaikan koran yang dipegangnya ke arahnya. Dengan ragu-ragu Dea berjalan menuju rumah Kakek Harun.

            Kakek Harun berusia sekitar tujuh puluhan, seusia Kakek Sastro, kakeknya Dea yang tinggal di desa. Rambut mereka sama-sama sudah memutih semua, dan kerut-merut kulit mereka tampaknya juga hampir sama. Bedanya, Kakek Sastro masih terlihat sehat dan gagah, sedangkan Kakek Harun ini terlihat lebih ringkih. Sesekali terdengar suara batuknya.
“Kakek memanggil saya?” tanya Dea ramah.
“Iya, kemarilah, duduk sini!” jawab Kakek Harun sembari menepuk-nepuk kursi kayu di sebelahnya.
Dea masuk ke halaman rumah Kakek Harun dan naik ke teras rumah, kemudian duduk di sebelahnya.
“Namamu siapa?” tanya Kakek Harun.
“Nama saya Dealova, Kakek boleh panggil saya Dea,” Dea mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Kakek Harun menjabat tangan Dea dengan hangat.
“Nama kamu bagus sekali!” puji Kakek Harun.
“Terima kasih, Kek,” kata Dea malu-malu.
“Kakek bisa minta tolong, tidak?”tanya Kakek Harun lagi.
“Apa yang bisa saya bantu, Kek?” Dea balik bertanya dengan sopan.
“Tolong bacain koran ini. Kemarin kaca mata Kakek pecah dan belum diperbaiki,  jadi hari ini Kakek tidak bisa membaca koran,” Kakek Harun mengulurkan koran yang dipegangnya kepada Dea.
Setelah meletakkan bungkusan es krimnya di atas meja, Dea segera membacakan berita di halaman bagian depan saja, seperti yang diminta Kakek Harun. Tentu saja dengan halaman sambungannya. Kakek Harun menyimaknya dengan sungguh-sungguh, dan sesekali mengangguk-angguk. Sesekali juga terdengar suara batuknya.
“Ada lagi, Kek, yang mau dibacain?” tanya Dea sopan, ketika semua berita di halaman depan koran itu selesai dibacanya.
“Sudah cukup, terima kasih,” jawab Kakek Harun sembari melipat kembali korannya, kemudian meletakkannya di pangkuan.
“Kalau begitu, saya pamit pulang, ya, Kek,” Dea mencium tangan Kakek Harun.
“Baiklah, jangan kapok bacain koran buat Kakek, ya,” jawab Kakek Harun.
Dea pun segera mengambil bungkusan es krimnya yang sudah mulai mencair, dan pergi meninggalkan rumah Kakek Harun.
* * *
Hari-hari berikutnya, kalau ada waktu senggang, Dea pasti menyempatkan berkunjung ke rumah Kakek Harun untuk membacakan koran, atau surat-surat dari teman-teman Kakek Harun yang tinggal di luar kota. Kata Kakek Harun, mereka adalah teman-teman beliau semasa sekolah dulu. Dea senang melakukannya, meskipun kaca mata Kakek Harun yang pecah sudah diperbaiki.
Kakek Harun tinggal seorang diri, hanya ditemani oleh seorang pembantu. Semua anak-anaknya sudah menikah, dan tinggal di kota yang berbeda, sementara istrinya sudah lama tiada. Bagi Kakek Harun, surat-surat dari teman-temannya adalah hiburan dalam kesepiannya. Dan sekarang, Allah mengirimkan seorang teman kecil yang sangat baik, yang mengisi hari-hari sepinya.
Suatu hari, dalam perjalanan pulang sekolah, Dea melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah Kakek Harun. Terlihat banyak orang berkerumun di teras rumah itu. Mereka semua tampak tegang dan tergesa-gesa. Dari cerita orang-orang yang ada di situ, rupanya Kakek Harun mengalami sesak napas dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Dan mobil yang terparkir di halaman rumah itu adalah mobil anak-anaknya Kakek Harun, yang baru saja datang, karena ditelepon oleh pembantu beliau.
Dea juga melihat Kakek Harun dibopong oleh seorang laki-laki ke dalam sebuah mobil. Badan Kakek Harun terlihat sangat lemah, mukanya pucat, dengan napas tersengal-sengal. Dea sangat sedih mengetahui Kakek Harun sakit. Dalam hati ia berdoa semoga tidak terjadi hal yang serius pada Kakek Harun, dan beliau segera pulih seperti sedia kala, sehingga Dea bisa kembali membacakan koran dan surat-surat untuknya.
Setelah mobil yang membawa Kakek Harun meninggalkan halaman rumah, Dea melangkah pulang dengan hati masih diliputi kecemasan.
* *  *
“Dea, bangun, nak,” ibu mengguncang tubuh Dea dengan lembut.
Dea yang masih terlelap dalam mimpinya, terbangun, kemudian mengucek-ngucek matanya. Ia melirik jam weker di meja belajarnya.
“Baru jam empat, Bu, Dea masih ngantuk,” Dea kembali memejamkan matanya.
“Ada berita tentang Kakek Harun, sayang,” ibu berkata dengan hati-hati.
Mata Dea yang sudah terpejam lagi, mendadak terbuka lebar ketika mendengar nama Kakek Harun disebut. Ada apa dengan beliau?
“Kenapa, Kakek Harun, Bu?” tanya Dea cemas.
“Maaf, sayang, Ibu harus menyampaikan ini padamu,” ibu berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Kakek Harun meninggal dunia.”
 Meskipun ibu mengatakannya dengan sangat hati-hati, tetapi Dea merasa seperti baru saja disambar petir. Perasaannya menjadi sangat kacau. Kaget, sedih, dan seakan tak percaya. Dea sudah menganggap Kakek Harun seperti kakeknya sendiri. Itu sebabnya ia merasa sangat kehilangan.Tak terasa air matanya mengalir deras di pipinya.
Kakek Harun sudah tiada. Dea tidak perlu lagi membacakan koran dan surat-surat untuknya. Ketika mengingat kembali saat-saat ia bersama Kakek Harun, kembali air matanya mengalir deras. Kakek Harun, semoga Allah memberikan tempat yang terindah untukmu. Semoga di tempatmu yang baru, akan ada bidadari yang  membacakan koran dan surat-surat untukmu. Aku akan sangat merindukanmu, Kek. Selamat jalan, Kakek Harun.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar