Dulu, ketika kami masih tinggal di Jogja, suami sering pijat ke seorang tukang pijat tuna netra yang berpraktek di sekitaran alun-alun Keraton Yogya. Tukang pijat ini adalah langganan kedua mertua saya. Pada hari-hari yang lain, ketika beliau sedang tidak berpraktek di tempat itu, kami juga bisa datang ke rumahnya. Waktu itu mungkin beliau berusia sekitar lima puluhan sampai enam puluhan tahun (saya tidak tahu persis, karena saya orang yang sangat payah dalam menebak usia seseorang). Kami memanggilnya Pak Wazim, nama yang terdengar cukup unik di telinga saya.
Pak Wazim tinggal di sebuah rumah kecil yang bersih dan
rapi, bersama istrinya yang juga seorang tuna netra. Ketiga orang anaknya
tinggal di kota yang berbeda, karena pekerjaan mengharuskan mereka tinggal jauh
dari kedua orang tua. Anak-anak mereka cukup berhasil dalam hidupnya, mengingat
mereka lahir dari keluarga sederhana, dari pasangan tuna netra pula. Saya tidak
ingat mereka bekerja sebagai apa, tetapi dari foto-foto yang terpasang di
dinding, sepertinya ekonomi mereka cukup bagus. Saya hanya ingat satu dari
mereka bekerja di salah satu bank swasta.
Sambil memijat, Pak Wazim memang suka bercerita. Beliau
tidak hanya bercerita tentang perjalanan hidupnya, anak-anaknya, dan berita
yang lagi ramai dibicarakan, tetapi juga perkembangan politik dalam negeri
kita. Sampai-sampai almarhumah ibu mertua saya heran dan berceletuk,”Pak, orang
buta kok tahu segala-gala!” Ya, Pak Wazim memang suka membaca buku (dengan
huruf Braille tentunya) dan mendengarkan berita di radio.
Tentang radio, ada cerita menarik sekaligus memprihatinkan. Suatu
hari ada dua orang pria datang ke rumah Pak Wazim untuk pijat. Ketika salah
satu dari mereka sedang dipijat di balik tirai yang membatasi ruang tamu, yang seorang
lagi kabur membawa radio tape milik Pak Wazim, yang kebetulan sedang tidak dibunyikan.
Sudah begitu, ketika yang satunya selesai dipijat, alih-alih membayar jasa dan
mengucapkan terima kasih, eeeh ... dia malah kabur juga! Sungguh orang-orang yang tidak punya nurani! Tidak
punya rasa malu! Tega-teganya mereka berbuat seperti itu pada seseorang yang
tidak mengetahui bahwa ia sudah didholimi, sementara orang yang didholimi tanpa prasangka apapun tetap dengan sunguh-sungguh
menyelesaikan pekerjaannya, demi mencari nafkah buat keluarganya.
Saya paling suka cerita Pak Wazim tentang perjalanan
hidupnya yang pahit dan penuh liku. Bukan suka dengan kepahitan hidupnya,
tetapi suka dengan hikmah dan semangat juangnya yang begitu inspiratif,
meskipun itu datang dari seorang tuna netra.
Wazim kecil adalah seorang anak yatim, yang kemudian oleh
ibunya dititipkan kepada budenya. Budenya pun bukanlah orang yang kaya,
sehingga untuk bisa hidup, Wazim kecil harus membantu pekerjaannya. Dia
terlahir dengan kedua mata yang sehat seperti anak-anak lainnya. Dia bisa
menikmati senyum ibunya, indahnya warna-warna bunga, dan juga cerahnya hari. Tetapi
ketika remaja, entah karena apa, perlahan-lahan keindahan warna-warna mulai
berubah menjadi kelabu semua. Cerahnya hari perlahan-lahan juga mulai meredup
dan berganti warna menjadi hitam pekat selamanya.
“Bersyukurlah, Mas, karena orang tua memberikan modal yaitu
pendidikan dan modal untuk usaha, berapapun besarnya,” kata Pak Wazim sembari
terus memijat dengan sedikit olesan bedak talk. “Kalau saya, saya tidak ada
yang memodali, modal saya hanya dari Allah. Tetapi saya sangat bersyukur, saya
punya istri dan anak-anak yang baik, saya bisa hidup meskipun sederhana, saya
bisa membeli rumah meskipun kecil, dan saya masih bisa bekerja sampai saat
ini.”
Subhanallah! Saya terpana.
Ketika saya minta ijin untuk ke kamar kecil, saya lebih
terpana lagi. Semua fasilitas komplit ada di dalam rumah kecil itu. Ada kipas
angin, kulkas, kompor gas, telepon, dan semua yang biasa ada di rumah kita.
Yang tidak ada hanya 1, televisi! Saya tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa
menggunakan barang-barang itu? Ternyata setiap hari Bu Wazim berbelanja
dan memasak! Bahkan saya saja, yang nota
bene sehat kedua mata, tidak bisa seperti itu. Allah memang Maha Adil.
Suatu sore menjelang maghrib, saya dan suami berkunjung ke
rumah Pak Wazim. Kami ragu mengetuk pintu rumahnya, karena sepertinya mereka
sedang tidak ada di rumah. Rumahnya gelap, lampu teras pun tidak menyala.
Ketika kami bersiap mau pergi, terdengar pintu dibuka dari dalam.
“Ma’af, Mas, kami kan tidak butuh lampu,” Pak Wazim muncul
dengan senyum lebar.
Hehehe ... iya juga, ya?
Sekarang, sudah sekitar sebelas tahun ini kami tidak
mengetahui kabar beliau. Semoga beliau dan istrinya dilimpahi kesehatan dan
keberkahan, juga umur yang panjang. Amin.
Wkwkwk...bener juga ya jd irit listrik...
BalasHapusMain2 kerumahku juga mb: www.sipleki.blogspot.com
iya mbak, soalnya siang sama malam sama saja bagi mereka ...
HapusSalam kenal dan singgah di sini
BalasHapusTerima kasih.
Hapus