Plong sudah. Dua hari
yang lalu aku cuti untuk daftar ulang putri pertamaku di sebuah sekolah
menengah pertama, sekaligus pertemuan wali calon murid dan komite sekolah.
Berarti putriku sudah mendapatkan sekolah, seperti yang diinginkannya.
Beberapa saat yang
lalu, kami sempat bingung dan agak tegang memikirkan masalah sekolah ini. Ada 3
alternatif sekolah yang menjadi pilihan kami. Awalnya putriku sudah mantap
dengan pilihannya, yaitu di sekolah B. Tetapi ayahnya menginginkan dia
bersekolah di sekolah A, dengan banyak pertimbangan ini dan itu. Kebetulan
sekolah A ini test masuknya lebih awal. Oleh ayahnya, putriku pun didaftarkan
di sekolah A. Begitu tiba hari test, putriku tidak mau berangkat. Ketika dipaksa
malah menangis. Duuuh ... gimana, nih? Singkat cerita, akhirnya dia mau
berangkat juga, setelah dibujuk-bujuk begitu lama, dengan menahan-nahan
perasaan yang siap meledak pula!
Begitu dinyatakan
diterima di sekolah A, putriku malah jadi bingung dan bimbang. Di satu sisi dia
ingin dengan pilihan awalnya, di sisi yang lain dia mulai jatuh hati pula
dengan sekolah A. Sementara aku dan ayahnya, jadi ikut-ikutan bingung, setelah
mendengar info dari sana-sini tentang biaya-biaya tak terduga setiap bulannya.
Sebenarnya wajar, sih, karena memang ini sekolah swasta, unggulan lagi! Bisa
saja dipaksakan, tetapi apakah nantinya kami bisa juga memaksakan diri untuk
adiknya, dua tahun yang akan datang? Kami bimbang, tegang, rusuh. Ah ... kenapa
masalah memilih sekolah saja bisa bikin stress begini, sih?
Pada saat itu, datang lagi satu alternatif pilihan, yaitu sekolah C. Cukup bagus juga. Punya kelebihan di sisi yang lain juga. Huuuft ... semakin bingung nih, putriku. Ketika kami tanya, mana diantara 3 sekolah ini yang disukainya, dia tidak bisa menjawab. Dia bilang prosentasenya sama, masing-masing 33%. Waduh, tambah bingung juga ,nih, orang tuanya.
Akhirnya,
daripada semakin berpanjang-panjang dan tidak segera ada keputusan, pada hari
terakhir daftar ulang di sekolah A, kami orang tuanya harus memutuskan untuk
mengundurkan diri. Pilihan yang paling riil dan rasional adalah di sekolah B,
sekolah yang dengan mantap dipilih putriku pada awalnya. Tetapi masalahnya
kemudian, bisakah putriku diterima, sementara kuotanya hanya 72 siswa,
sementara pendaftarnya 250 lebih anak? Meskipun prestasinya selama ini bagus,
ada saja kan kemungkinan itu? Apalagi belakangan, hasil-hasil try outnya di beberapa kesempatan selalu
kalah dengan teman-temannya, yang selama ini justru hampir selalu di bawahnya.
Sekarang,
beban itu sirna sudah, ketika putriku dinyatakan diterima di sekolah B. Lega,
plong! Seperti ketika hidung tersumbat diberi inhaler. Napas jadi legaaa ... karena bisa menghirup udara segar sebanyak-banyaknya,
kemudian melepaskannya lagi sampai tuntas. Semoga ini adalah pilihan terbaik
yang dipilihkan Allah untuk putriku, seperti doa-doa kami selama ini.
Selamat ya mbak Thifal disekolah yang baru... Selamat pula buat mamanya..ikutan seneng!
BalasHapusTerima kasih, mudah-mudahan ini yang terbaik buat Thifal. Mohon do'anya.
Hapus