9.23.2012

SUSUH

















Ini cerita tentang masa kecil. Di mana pada waktu itu, aku masih duduk di bangku sekolah dasar, antara kelas 2 sampai 4 atau 5, gitu, deh.

Sepulang sekolah, bersama dengan beberapa teman yang lain, aku suka sekali mencari susuh atau sarang burung di pepohonan yang ada di sekitar rumah kami. Kebanyakan, sih, pohon melinjo. Karena di kampung kami, banyak rumah yang halamannya ditanami pohon melinjo. Selain buahnya yang bisa dibikin emping, kulit buah dan daunnya yang muda pun bisa dikonsumsi. Daun mudanya bisa untuk campuran sayur lodeh, bothok, sayur asem, dan beberapa macam masakan sayur lainnya. Kulit buahnya? Bisa juga untuk campuran berbagai macam sayur di atas, sebagai campuran kering tempe, dimasak oseng-oseng, maupun digoreng begitu saja sampai kering.

Yang terakhir ini, nih, menggorengnya lama banget. Sudah begitu ngabis-ngabisin minyak, lagi. Hihihi ... tapi aku suka banget, apalagi kalau ngasih bumbunya pas! Padahal bumbunya, sih, hanya ulekan garam dan bawang putih saja. Hmm ... yummy, bisa enggak berhenti ngunyah, tuh. O ya, makanan seperti itu di daerah kami, biasa disebut “mata maling.” Kenapa mata maling? Hehe ... aku juga enggak tahu, kenapa dinamakan seperti itu. Mungkin karena bulat-bulat berwarna merah, kali, ya? Emang, mata maling bulat merah, apa? 

Kembali ke sarang burung. Sering kali sarang yang kami temukan masih berisi telur burung, yang pada umumnya adalah telur burung pipit. Tetapi sering juga sudah berisi bayi-bayi burung pipit yang riuh mencicit membuka mulutnya meminta makan. Sumpah, aku seneng banget melihat mulut-mulut kecil itu mangap-mangap ke atas meminta disuapin. Dalam pemikiran masa kecil kami, kami ingin sekali memelihara mereka dan melihatnya tumbuh menjadi besar, kemudian bisa terbang mandiri. Makanya kami menyuapinya dengan beras dan meneteskan beberapa tetes air ke dalam mulut mereka. Tapi apa yang terjadi? Mereka hanya bertahan 2 sampai 3 hari! Satu per satu mereka mati menyedihkan. Kami tidak mengerti mengapa bisa begitu. 

Pada suatu hari, sekali lagi kami berhasil mendapatkan sebuah sarang burung pada sebuah pohon melinjo di halaman rumah salah seorang teman. Selang beberapa jam kemudian, tampak sekawanan burung berondong-bondong mendatangi pohon melinjo itu. Sesaat kemudian mereka terbang lagi, dan beberapa saat berikutnya mereka datang lagi di pohon melinjo. Tampaknya sang induk yang kehilangan bayi-bayinya mengerahkan teman-teman dan keluarganya untuk mencari anak-anaknya. Ya, ampun, kasihan yaaa. Aku bisa merasakan bagaimana perasaan induk mereka. Bingung, sedih, dan kehilangan. Atau, bisa lebih dari itu. Tapi waktu itu, kami tidak pernah berpikir sampai ke situ. Ya, Allah, ampunilah dosaku dan teman-teman kecilku.

Dari kejadian itu, kami justru berpikir, bagaimana bayi-bayi burung itu bisa tetap kami miliki, tetapi mereka tidak bernasib sama dengan bayi-bayi burung sebelumnya. 

Jadilah, kami memasukkan bayi-bayi burung itu (masih di dalam sarangnya) ke dalam sebuah sangkar burung. Sangkar itu kami taruh di atas pohon melinjo, tempat di mana kami menemukan sarang burung tadi. Pintu sangkarnya kami biarkan terbuka, tetapi kami ikatkan tali yang panjangnya sampai ke dalam rumah. Dengan harapan, si induk bayi burung akan datang dan masuk ke dalam sangkar itu, sehingga kami menarik talinya, dan terjebaklah induk burung itu di dalam sangkar. Jadi, bayi-bayi burung itu akan terawat dengan baik, karena induknya sendiri yang akan menyuapinya. Wah, bener-bener, deh, itu kelakuan. Anak-anakku, jangan ditiru, ya. Itu contoh yang sangat, sangat, sangat tidak baik, ok?!

Dan benar saja, tak berapa lama beberapa burung tampak berusaha mendekati sangkar, seekor diantaranya berusaha masuk ke dalamnya. Kami yang sudah mengintip sejak tadi dari dalam rumah, langsung saja menarik tali yang diikatkan pada pintu sangkar. Tapi, upsss ... gagal! Burung itu berhasil lepas dan terbang lagi. Yah, gimana, dong? Okey, kita coba lagi. Dan ternyata, usaha berikutnya pun gagal total! Sampai akhirnya si induk burung dan kawan-kawannya tidak berani datang lagi. Mereka tahu, kali, ya, kalau itu jebakan?

Lalu, gimana, dong, nasib para bayi burung itu? Bisa ditebak, deh, gimana nasib mereka. Satu per satu mereka pun bernasib sama seperti bayi-bayi burung sebelumnya. Duuuh ... nakal banget, ya? 

Okey, itu hanyalah cerita tentang masa kecil. Tetapi dari situ kita bisa ambil pelajaran untuk kita sendiri, maupun untuk anak cucu kita. Kita bisa ajarkan kepada anak-anak kita sejak dini, untuk saling menyayangi antar sesama makhluk Tuhan, baik kepada sesama manusia, kepada hewan-hewan, maupun kepada tanaman. Contoh paling sederhana adalah dengan menyirami tanaman dan tidak merusaknya, tidak menyakiti hewan-hewan, dan memberi makan kucing liar di sekitar rumah. Karena mereka juga adalah makhluk hidup seperti kita. Jadi, mulai detik ini, mari kita ajarkan kasih sayang kepada anak-anak kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar