1.16.2012

SUWAKAN


Ngobrol tentang masa kecil dengan seorang teman dari satu daerah memang seru. Karena banyak kesamaan pengalaman masa kecil, yang mana, sebagaimana kebanyakan anak desa pada waktu itu bebas bermain sesuka hati, di halaman rumah, di lapangan, di sawah, di empang, maupun di kali. Yang pasti waktu itu tidak banyak larangan dari para orang tua, yang khawatir bajunya akan menjadi kotor, atau badannya akan terkena kuman.

Saya jadi teringat, salah satu kegiatan sepulang sekolah pada waktu itu adalah mencari cethul –atau ikan-ikan kecil- di kali kecil pinggir desa (sebenarnya, sih, hanya saluran irigasi), bersama beberapa teman. Hasil tangkapan yang hanya beberapa ekor itu kami bawa pulang untuk dipelihara di bak mandi, atau kadang-kadang suka digoreng juga untuk lauk santap siang. Wuiiih... rasanya senang sekali bisa bersantap siang dengan lauk hasil jerih payah sendiri. Puas gitu, loh. Hihihi.

Apabila kali kecil kami mendapat giliran dimatikan aliran airnya, saat itulah pesta besar buat kami. Karena kedalaman air yang hanya sebatas mata kaki sangat membantu kami dalam menjalankan misi kami. Selain berhasil mendapatkan lebih banyak cethul, biasanya kami juga bisa mendapatkan udang-udang kecil yang bersembunyi di bawah batu, atau di rongga bagian bawah dinding kali yang terbuat dari semen, dengan cara memasukkan jari-jari kita ke dalam rongga tersebut, dengan meraba-raba. Kalau ada udang yang teraba, segera kita genggam dan ... tring... seekor udang pun berhasil kita tangkap.

Ada seorang teman yang ahli sekali dalam bidang raba-meraba ini. Kalau saya sih, takut. Takut kalau ternyata yang bersembunyi di situ adalah seekor ular. Bisa saja kan?




Ada lagi satu kegiatan kami yang masih berhubungan dengan perikanan. Membuat ‘suwakan’. Ya, kami suka sekali membuat suwakan. Suwakan adalah semacam keramba yang dibuat dengan menumpuk batu-batu kali, yang disusun sedemikian rupa, sehingga ada rongga cukup besar di antara tumpukan batu-batu kali itu. Tidak lupa dibuatkan juga lubang sebagai pintu untuk masuknya ikan, dengan harapan akan ada banyak ikan yang masuk ke suwakan kami. Finishingnya adalah dengan menimbun tumpukan batu-batu kali itu dengan lumpur, sehingga akan terlihat alami, tidak menarik perhatian, dan yang pasti tidak dibongkar oleh orang lain.

Selang semingguan kemudian, kami akan membongkar suwakan kami, dengan terlebih dahulu menyumbat pintu suwakan dengan batu dan lumpur. Hati kami berharap-harap akan mendapati banyak ikan di dalamnya. Satu per satu batu-batu kali kami bongkar dengan hati-hati, seakan-akan takut mengagetkan penghuninya.

Dan ... taraaa... ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan! Paling-paling hanya seekor ikan kecil, atau paling banyak pernah mendapat dua ekor ikan, kecil-kecil juga. Dan kalau sedang apes, tak satu ekorpun ikan kecil yang tertarik untuk memasuki suwakan kami. Mungkinkah perlu dibuat suwakan seperti rumah coklatnya Nenek Sihir di hutan, yang berhasil menarik perhatian Hansel dan Gretel? Huaaa... jadi ngelantur ke mana-mana.

Tapi meskipun tidak mendapatkan seekor pun, hati kami tetap senang. Kami tetap bermain seharian, di kali, di empang, di lapangan, di sawah.... tidak pernah memikirkan kulit akan menjadi gatal-gatal atau muka yang akan memerah terbakar matahari. Benar-benar pengalaman masa kecil yang sangat berharga. Kira-kira pada masa sekarang ini masih ada enggak, ya, anak-anak yang bermain-main di kali? Mencari ikan... atau membuat suwakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar